Kamis, 05 November 2009

Lilac

LILAC

Arts, More Arts: H-7
“Adri... Jangan pulang dulu, doongg… Gue belom ke situ, tuuhh!”
“Udah ga sempat, Lila. Ntar malah kemaleman.”
“Sempat, kok! Cuma sebentar... Beneran, deh!”
“Ga ada.”
“Adriii...!”
“Naik atau gue tinggal.”
Lila cemberut, namun tidak membalas apa-apa. Lila memang tidak pernah menang bila harus berdebat dengan Adri, sahabat sejak kecilnya itu. Ia pun akhirnya mengambil helm yang diulurkan Adri dan naik ke motor. Selain karena takut ditinggal dan tidak tau jalan pulang, saat itu memang sudah mendekati pukul 6 sore. Ngeri juga keluyuran sendiri di jalan sepi begini. Lagipula, ia jadi merasa tidak enak pada Adri, yang sudah menemaninya kemana-mana sejak pagi, hanya untuk membantunya mencari inspirasi bagi otaknya yang walau sudah buntu, masih saja pemilih!
Lila, yang baru saja terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam Arts, More Arts – perlombaan kesenian antar sekolah – harus membuat tiga karya bebas sesuai kreatifitas masing-masing. Syaratnya, karya-karya tersebut harus mengandung unsur seni dan berhubungan dengan satu hal: bunga. Walau termasuk pecinta bunga, Lila masih penasaran akan apa yang ada dipikiran para panitia lomba kesenian itu, hingga karya yang dibuat harus terfokus pada bunga. Apalagi masing-masing karya tersebut harus “mempunyai” bunga sendiri, yang artinya Lila harus mencari tiga bunga.
Jadilah Lila minta Adri untuk menemaninya (baca: mengantarnya) ke toko-toko bunga yang mereka ketahui, untuk mencari inspirasi bunga apa yang akan dipakai dan bagaimana wujud asli bunga tersebut, syukur-syukur kalau dapat inspirasi untuk karyanya juga. Sejauh ini Lila sudah memutuskan bunga-bunganya adalah mawar putih (“Harus!” kata Lila), dan mungkin juga bunga matahari, sementara satu lagi Lila belum tau sama sekali. Mungkin dikarenakan tuntunan kreatifitas Lila yang memang tinggi (menurut Lila) atau karena bawaan dirinya yang pemilih dan perfeksionis (menurut Adri) sehingga ia tidak bisa asal memilih bunga. Maka dari itu Lila belum puas. Tapi hari memang sudah menjelang malam dan Adri mungkin juga sudah lelah. Sejak pagi hanya melihat bunga dan meninggalkan gitarnya (baca: pacarnya) seharian di rumah.
“Hoi, bengong aja,” kata Adri sambil mengetuk pelan helm yang dipakai Lila dengan telunjuknya.
“Hah? Oh...” Lila mengangkat kepalanya dan menemukan dirinya sudah tiba di depan rumahnya. Malu karena tertangkap sedang bengong, Lila langsung turun dari motor dan bergegas masuk ke rumahnya.
“Lila...” panggil Adri, membuat Lila kembali membalik badannya, “...helmnya, La! Mau lo pake tidur, heh? Nggak enak, kali,” lanjut Adri, dengan senyum menahan tawa.
Lila refleks memegang kepalanya. Masih ada helm yang bertengger nyaman disana. Lila langsung melepas helmnya. Makin malu. Diulurkannya helm tersebut ke Adri yang masih menahan tawa. Lila cemberut melihatnya.
Tawa Adri akhirnya lepas juga. “Hahaha! Maaf, La. Hahaha... Gue nggak bermaksud ngetawain kok, hehe... “
“Itu ketawa namanyaaaaa!!” Lila ngambek.
“Hahahahaha... Iya, maaf deh. Gue balik, ya.”
“Hmm... Oke, oke... Satu lagi belum ketemu nih... Bunganya apa...?”
“Udah, nanti juga ketemu. Nggak apa-apa, lah.”
“Yaudah, oke oke. Daahh...”
“Daaahh...”
Motor Adri pun berlalu.

Arts, More Arts: H-5
Nala menghampiri Lila yang sedari tadi ngeyel tinggal di kelas saat jam istirahat dengan alasan ingin meneruskan karyanya untuk Arts, More Arts yang hanya tinggal beberapa hari lagi.
Nala berdiri di sebelah sofa kelas yang sedang Lila duduki. Ia menatap Lila yang masih asik dengan pekerjaannya. Tangan Lila dengan lincahnya membuat bentuk mawar putih dari clay. Sejak dulu Nala heran bagaimana sahabatnya ini bisa sangat berbakat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan art. Setelah beberapa saat, Lila mendongak menatapnya dan berkata, “Tutup tu mulut, awas lalat masuk.”
Nala baru tersadar bahwa sedari tadi ia membiarkan mulutnya terbuka selagi memerhatikan Lila. Ia langsung menutup mulutnya dan bertanya, “Mau nitip beli apa, lo?”
“Nggak usah, gue nggak lapar,” jawab Lila.
“Tinggalin bentar aja napa, La? Cuma berapa menit ini.”
“Nggak bisa. Tinggal lima hari. Masih ada dua karya lagi yang gue nggak tau mau bikin apa. Yang satu aja gue nggak tau mau pakai bunga apa. Kemarin Adri cuma bantu dikit banget. Mana hari ini dia ekskul basket. Karya yang ini harus selesai hari ini.”

Arts, More Arts: H-3
Lila langsung loncat dari motor Adri begitu dia sudah tiba di depan rumahnya. Sejak di sekolah dia khawatir karyanya hancur lagi. Kemarin, karya pertamanya – mawar putih kecil yang terbuat dari clay, yang dapat dibuka bagian tengahnya untuk menyimpan benda-benda kecil – hancur lagi karena claynya kurang kuat menempel dan masih belum kering benar, walau bagian-bagiannya sudah ia beri lem yang lumayan kuat.
Lila sudah memasukannya ke microwave agar lebih menempel – agar air yang terkandung dalam clay menguap dan membuatnya kering sehingga bentuknya tidak akan berubah-ubah. Tadi pagi clay itu masih baik-baik saja, namun tetap saja Lila ingin memastikannya, apakah “mawar putih”nya masih utuh hingga sekarang.
Lila bergegas ke kamarnya yang penuh dengan lukisan tangannya, tersandung sedikit di tengah jalan walau tidak ada apa-apa (entah mengapa dia selalu begitu dan tidak mengidap penyakit apa-apa, kecuali penyakit melukai diri sendiri). Begitu melihat karyanya masih utuh tanpa kurang sesuatu pun, ia langsung lega dan wajahnya berubah cerah. Lila mengangkatnya dan memerhatikannya lekat sambil tersenyum senang. “Hihihii...”
“Hoi gila, ketawa-ketawa sendiri,” sahut Adri sembari mengetuk kepala Lila agak keras.
“Sakit!!”
Adri tak menanggapi protes Lila dan langsung duduk di tepi tempat tidurnya. Adri memerhatikan Lila yang sedang sibuk sendiri memasang tali pada “mawar putih”nya agar dapat digunakan sebagai gantungan juga. “Well, that looks real.”
Lila menoleh ke arah Adri, senyumnya makin lebar. “Thanks.”
Adri menyapukan pandangannya ke meja kecil di sebelah tempat tidur Lila, dimana terdapat banyak barang yang paling sering Lila pakai. Kening Adri berkerut ketika ia mendapati beberapa barang yang biasanya tidak ada disana. “Jepit rambut?” tanya Adri, mengambil salah satunya.
“Namanya bobby pins, Dri,” jawab Lila, memandang jepit hitam yang di salah satu ujungnya terdapat bunga kecil berwarna merah muda. “Akhirnya gue bikin hydrangea. Hmmm... Gue nggak tau sih, nama umumnya. Itu scientific namenya. Nah, hydrangea kan terdiri dari banyak bunga-bunga kecil yang batangnya menyatu, terus bentuknya bulat. Nah... Maksud gue tuh, itu semuanya mau gue tancapkan di bantalan jarum ini,” Lila mengangkat bantalan jarum kecil yang berbentuk bulat, “jadi nanti bentuknya bulat juga. Tapi bobby pinsnya masih kurang banyak.”
“Gue nggak ngerti lo ngomongin bunga apaan. Iya aja deh, gue,” kata Adri asal, membuat Lila cemberut sedikit. “Satu lagi apa?”
“Naahh... Itu dia... Gue belum tau, nih...”
“Kenapa nggak lukisan aja? Lo kan masternya.”
“Gaa...! Lukisan tuh terlalu biasa...”
“Nggak juga ah. Tergantung cara buatnya aja gimana.”
“Emang cara buatnya gimana...?? Cara buat lukisan ya gitu-gitu aja! Lagian bunganya apa cobaa...??” Lila yang memang mudah panik langsung stres sendiri. Gampang banget sih, Adri!
“Sometimes you just need to see yourself, Lila C.”
“...Nggak ngebantu sama sekali, Dri.” Jawaban Lila mulai dingin. Kadang dia kesal sama Adri yang kalau bicara jarang sekali to-the-point. Juga cara bicaranya pada Lila yang entah bagaimana kadang membuat Lila merasa ia adalah anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.
...Oke, dia memang kadang masih childish.
“Masa?” tanya Adri dengan wajah (yang seakan) tak percaya.
Lila akhirnya tak tahan juga. “Iiihh... Adrii...!! Nyolot ah, lo!! Udah ah...! Lo pulang aja sana, hus hus! Iiihh...!!” kata Lila sambil mendorong Adri keluar kamarnya.
“Lha? Kok gue diusir?” Adri bingung.
“Karena lo nyolot! Udah, sana! Hus, hus! Bweeekk...!” Lila menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya menutup pintu kamarnya di depan wajah Adri.

Arts, More Arts: H-2
Lila stres. Tinggal dua hari lagi sebelum hari-H dan ia belum tau apa yang akan menjadi karya ketiganya. Bunganya saja belum diputuskan. Lila nggak mau asal buat. Bukan Lila namanya kalau nggak perfeksionis, yang selalu ingin bagus. Karena itu, sekarang Lila jadi stres sendiri dan mudah emosi. Apalagi Lila masih dalam rangka ngambeknya pada Adri. Beberapa temannya pun lulus audisi jadi sasaran emosinya, termasuk Nala.
Lila sedang membereskan barang-barangnya dari loker sebelum pulang ketika Adri menghampirinya. “Hoi,” sapa Adri, “pulang, yuk.”
“Hari ini gue nggak pulang bareng lo,” jawab Lila dingin tanpa memandang ke arah Adri. Lila memang selalu diantar pulang oleh Adri, kecuali bila Adri harus mengikuti ekskul basket setelah pulang sekolah. Ritual ini selalu mereka lakukan sejak Adri punya motor (sebenarnya sejak mereka SD, namun saat itu belum ada motor, sehingga tidak bisa disebut “diantar”).
“Terus pakai apa? Ikut Nala?”
“Nggak,” Lila mengunci lokernya dan bersiap pergi, “naik angkot.”
“Eiittss... Tunggu dulu. Siapa yang ngebolehin lo naik angkot?”
“Siapa yang nggak ngebolehin
“Siapa lo?”
“Cowok lo.” Adri langsung mengganti jawabannya begitu melihat wajah keruh Lila. “Bercanda, La. Ayolah, jangan naik angkot. gue naik angkot?”
“Gue.” Bahaya. Pulang sama gue aja.”
“Gue udah SMA, Dri! Bisa jaga diri.”
“Gue ragu. Apalagi dengan sifat lo yang sering tiba-tiba kesandung walau nggak ada apa-apa.”
Lila langsung cemberut. “Dih! Nggak, ya! Gue bisa jaga diri! Gue tetap mau naik angkot aja!” Lila mulai berjalan lagi.
“Lila...” Adri menarik tangan Lila. “Ampun dah, ni anak... Masih ngambek?”
Lila hanya menjulurkan lidahnya lalu langsung berjalan pulang.

Lila akhirnya sampai di rumah. Ia tadi sedikit was-was juga, mengingat perkataan Adri memang ada benarnya juga. Tapi tadi dia tidak tersandung sama sekali tuh sejak keluar dari sekolah! HA!
Ia berjalan menuju pintu rumahnya ketika ia tiba-tiba tersandung (kali ini benar-benar) batu. Mukanya memerah. Untung tidak ada Adri.
Sesampainya di kamar, ia langsung membuka laptopnya dan mencari inspirasi untuk bunga dan karyanya. Ia juga mengeluarkan seluruh koleksi majalahnya. Kamarnya penuh dengan kertas, majalah, dan buku-buku. Tempat sampahnya penuh akan sketsa karyanya yang tidak jadi ia gunakan. Belum lagi pikirannya yang harus terbagi dua antara karyanya dan tugas serta PR-nya.
Lila menaruh pensilnya dan membalikkan badannya sehingga posisinya terlentang di atas tempat tidur. “Hhh... Designer’s block.”
Kalau sudah begini, apapun mentok!

Arts, More Arts: H-1
Lila baru terbangun pukul 10 pagi. Tadi malam ia baru tidur pukul 3 pagi dan masih belum mendapatkan apa-apa. Untungnya semua tugas dan PR-nya dapat terselesaikan tadi malam, sehingga sekarang Lila dapat memfokuskan semua perhatiannya pada karyanya.
“Hhh...” Lila lelah. Dia mulai pasrah. Mentok-mentok ia akan membuat bunga dari pita, yang mana ia yakin pasti banyak yang membuatnya; pasaran.
Ia bangun, lalu mandi. Begitu ia kembali ke kamarnya, ia menyadari adanya sesuatu di atas meja tempat tidurnya yang sebelumnya tidak ada: satu toples kecil berisi cookies, sebatang bunga lilac dan memo kecil.

See yourself. Those are for snacks.
Get any inspirations, Lila C.?
P.S: Jangan ngambek lagi dong.

“Lila C.” Pasti Adri. Cuma Adri yang memanggilnya seperti itu. Entah apa alasannya Lila masih tidak mengerti sampai sekarang. Snacks? Adri top, cookies ini adalah kesukaan Lila. Ia tersenyum sambil mengambil satu cookie dan menggigitnya ketika ia menyadari ada dua kertas, bukan hanya satu. Lila melihat kertas yang kedua.
Foto lukisan Lila yang dulu sekali pernah ia berikan untuk Adri.
Ia tersenyum lagi. Ternyata Adri masih menyimpan lukisannya. Objek dalam lukisan itu hanyalah pohon yang sedang gugur; daun-daunnya berterbangan... Tapi bagus dan begitu “hidup”...
Ia mengalihkan pandangannya ke arah lilac yang datang bersama memo itu. Lalu ia memerhatikan memonya lagi. Lalu kembali pada lilac tersebut. Kenapa harus lilac...?
Kemudian Lila menyadarinya. Lilac. Lila C.
See yourself.
Ia kembali tersenyum. Berapa kali ia tersenyum dalam tenggang waktu lima menit ini?
Adri benar. Tidak perlu jauh-jauh, tidak perlu susah-susah; kadang kita hanya perlu melihat ke diri kita sendiri. Lukisan pun harusnya bisa jadi luar biasa karena Lila memang senang melakukannya.
Lila langsung mengambil kanvas, kuas, dan cat. Ia tersenyum melihat lilacnya sebelum akhirnya ia taruh di depannya sebagai objek. Ia menyelupkan kuasnya dan membiarkannya menari diatas kanvas.kegmg keng keng keng keng keng keng kung keng lagunya

Tidak ada komentar: