Selasa, 21 Februari 2012

BONG

Bong menatap langit abu-abu dari ketinggian sebuah gedung pertokoan. Hujan yang turun sejak tadi malam masih meninggalkan sisa-sisa gerimis yang membawa hawa sejuk pada pagi hari di ibukota ini. Di bawah gedung tampak berderet-deret kendaraan bermotor yang diparkir di pelataran gedung.
Bong menahan rasa nyeri di dadanya. Sakit jantung yang dideritanya terasa semakin tak tertahankan selama tiga tahun belakangan ini. Semua derita dan masalah ini ia hanya rasakan sendirian, tidak ada tempat untuk berbagi atau sekedar berkeluh kesah. Istrinya sudah meninggal, orang tuanya tinggal di luar negeri dan kedua anaknya tidak memperdulikannya. Dia hanya hidup dalam kesendirian disebuah gubuk di pinggir kali yang kotor, kumuh, penuh dengan sampah dan sangat tidak layak untuk di tinggali. Sangat jauh berbeda dari rumah mewah yang di tinggalinya ketika ia masih berada pada masa kejayaannya. Kondisi yang berbalik seratus delapan puluh derajat bagaikan roda yang berputar.
Ia melamun, dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam potongan cerita tentang kisah masa lalunya. Ia teringat akan segala kemewahannya yang dulu pernah dimilikinnya, misalnya rumah mewah yang besar dan dilengkapi dengan fasilitas seperti layaknya hotel berbintang, bersih, rapi serta bertingkat tiga. Selain itu, ia juga memiliki suatu perusahaan minyak yang besar dan berjalan dengan sukses. Akan tetapi, ia juga menyadari hal-hal buruk yang ia pernah melakukannya, misalnya, sering mengkonsumsi makan-makanan yang tidak sehat, bahkan parahnya ia pergi ke suatu bar, disana ia minum minuman keras, seperti alkohol, wine, juga merokok, dan juga ia memakai harta peninggalan orang tuanya untuk bermain judi bersama teman-temannya sejak ia masih duduk di kelas SMA. Pada saat bermain Bong berkata “asyik sekali mainnya, ayo main lagi”, tetapi dia tidak tahu dampak negatifnya. Hampir setiap hari, ketika ia pulang, di saat perjalanan dari bar ke rumah ia selalu mabuk dengan wajah bagaikan api. Istri Bong sangat penuh dengan kasih sayang dan perhatian kepada Bong. Istrinya selalu mengingat Bong agar dia tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatannya. Tetapi Bong tidak ingin mendengarkan nasehat dari istrinya. Lalu ia berkata “bukan urusan kamu koq! Biarin! suka-suka aku mau ngapain, mau mabuk kek, mau hujan-hujanan kek, mau mati kek, masa bodo!!”. Dengan perkataan ini istrinya merasa sakit hati, stress berat dan akhirnya meninggal.
Dia ingin berobat kerumah sakit agar pulih dari penyakit jantung, tetapi dia tidak mempunyai uang yang cukup, sehingga ia berusaha mencari uang dengan cara meminjam uang kepada orang lain di lingkungan sekitar, dan juga ia mencari di lingkungan lain untuk meminjam uangnya agar bisa berobat. Tak terasa, utangnyapun sudah menumpuk seperti gunung yang tinggi, sedangkan dia harus membayar utang kepada orang yang dipinjamnya. Tetapi ia bingung bagaimana cara membayar utangnya kepada mereka sementara kondisi dia sedang tidak sehat. Dia sudah berpikir caranya dengan susah payah, tetapi tidak menemukan solusinya. Sehingga ia menyerah dan putus asa, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya supaya dia berhasil membayar semua utang yang menumpuk itu.
Air matanya mengalir semakin deras. Nyeri di dadanya semakin tak tertahankan. Bong memejam matanya. “Pak jangan!!” terdengar seseorang berteriak. Bong melihat seorang Satpam berlari ke arahnya. Dan berhenti tepat di sampingnya. Satpam tersebut menatap jauh ke bawah gedung dan menghubungi seseorang melalui handytalknya. “Ada yang melompat dari lantai 7 pak” tutur Satpam tadi. Suaranya terdengar panik. Bong melihat tubuhnya tergeletak dibanjiri lautan darah di tanah, jauh di bawah tempat ia sekarang berdiri. Beberapa orang tampak mengeruminya. Mereka memandang prihatin pada jasad Bong.

Tidak ada komentar: